Covid-19 dan Cerita Kami yang di Desa

Sudahsejak Maret 2020 Indonesia menghadapi pandemi Covid-19, dan selama itu pula saya tinggal di rumah. Semua kegiatan pun sebisa mungkin dikerjakan di rumah, termasuk kuliah. Rasanya sedikit senang, akhirnya bisa tetap di rumah bersama keluarga, tetapi pada kenyataannya lebih banyak khawatirnya.

Bahkan terkadang, perasaan bosan, sedih, dan kecewa muncul begitu saja. Bagaimana tidak, semua pergerakan terbatas. Saya yakin, hal itu tidak hanya dirasakan oleh saya saja. Karenas emua orang juga terdampak.

Hal tersebut, mengingatkan saya pada Ina, teman saya yang pernah membuat status di whatsapp, “Jika dengan cara sederhana seperti di rumah saja, bisa untuk menjaga kesehatan diri sendiri dan orang lain. Mengapa tidak kita lakukan,” kira-kira seperti itu ungkapnya di laman status.

Setelah saya mencoba memahami kembali, ungkapan tersebut memang ditujukan untuk orang-orang yang tidak memiliki kepentingan mendesak untuk keluar rumah. “Kalau memang nggak ada kepentingan yang mendesak, ya nggak usah keluar-keluarlah, setidaknya jangan lupa taati protokol kesehatan deh,” ungkap Ina, di status berikutnya.

Membentuk Kebiasaan Baru

Memakai masker kini telah menjadi kebiasaan baru bagi setiap orang, termasuk masyarakat di desa saya, Desa Rancamaya, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pada awalnya, kami yang tinggal di desa ini tidak benar-benar selalu memakai masker. Hanya ketika harus berpergian jauh saja, seperti pergi ke desa tetangga. Dengan alasan, karena kami tinggal di desa dan jauh dari kota-kota besar.

“Neng desa Rancamaya langka Corona, wong desa kene kan ora tau lunga-lunga maring kota [red-di desa ngga ada Corona, soalnya orang desa sini kan ngga pernah pergi ke kota],” kata Uyud, salah satu warga desa.

Bukan hanya Uyud, ternyata sebagian masyarakat desa masih berpikiran bahwa virus Corona tidak sampai ke desa. Selain itu, mereka juga berpendapat jika kemana-mana harus memakai masker tentu sangatlah tidak nyaman.

“Sumpeg, pega nek maskeran, perekan ikih, ngonoh warung [red-ngga nyaman pake masker, sesak juga, Cuma deket kok, ke warung],” ungkapAti, dengan khas ngapaknya.

Bukan karena tidak takut dan tidak terbuka pemikirannya, melainkan masyarakat desa di sini sangat meyakini, bahwa ucapan adalah sebagian daridoa. Semua orang juga mengamini, tetapi bukan kah doa juga harus diiringi dengan usaha.

“Meskipun orang yang terdata positif Covid-19 jauh dari Desa Rancamaya, tetapi alangkah baiknya harus tetap waspada dan tidak menganggap remeh, karena kita tidak tahu setiap harinya nanti akan bertemu dengan siapa saja, terlebih doakan juga harus dibarengi dengan ikhtiar,” ucapWaryono, Sekretaris Desa Rancamaya, kebetulan saya sempat berkunjung dan berbincang-bincang.

Hingga akhirnya, akhir bulan Maret lalu, Bupati Banyumas, Achmad Husein mengabarkan melalui video singkat di laman media sosialnya, bahwa terdapat dua orang positif terinfeksi Covid-19.

Dipastikan, orang pertama tersebut memang sedang dirawat di Rumah Sakit, Jakarta, lalu meninggal dan terdeteksi positif, kemudian dimakamkan di Kedung Banteng, Banyumas [red-asal rumahnya]. Untuk orang kedua yang positif, diperkirakan terjangkit pada saat berkunjung ke Solo dan Semarang, kemudian pulang ke Banyumas.

Kabar tersebut akhirnya sampai ke masyarakat desa dan ramai diperbincangkan, baik di grup-grup whatsapp maupun obrolan sehari-hari antartetangga. Sebagian masyarakat yang awalnya acuh, kini menjadi sadar, bahwa virus tersebut tidak memandang siapa pun, baik orang desa maupun orang kota.

Situasi ini pun menghadirkan adaptasi dan kebiasaan baru bagi masyarakat desa. Tindakan sederhana seperti memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan dengan sabun, tentu bukan hal yang biasa awalnya. Namun, hal itu kini menjadi hal biasa dilakukan oleh siapa pun.

Pernah suatu ketika saya dibuat lucu dan kagum, saat itu saya berpapasan dengan seorang petani yang akan pergi ke sawah.

“Bade teng sabin ngagem masker, Pak? [red- Mau ke sawah tetap pakai masker, Pak?],” tanya saya heran dan salut. Pasalnya, masih banyak orang-orang di luar sana yang enggan memakai masker, padahal tempat yang dituju termasuk tempat yang berkerumun.

“Nggih mbak, mematuhi protokol kesehatan, senajan ora papagan karo wong akeh tapi ya jaga-jaga, mbok ana razia masker juga[red- Iya mbak, mematuhi protokol kesehatan juga, walaupun ngga ketemu orang banyak tapi ya waspada, apalagi suka ada razia masker],” jawab petani tersebut sambil ketawa.

Mendengar jawaban tersebut, dahi saya mengerut, tetapi mulut tertawa, “Oalah, pak, pakai masker karena takut kena razia juga toh, hmm..setidaknya di sawah bukan tempat orang yang berkerumun..,” ungkapsayadalamhati.

Bukan itu saja kebiasaan baru yang dialami masyarakat desa.

Suatu ketika saya pernah membuat status whatsapp tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan [3M]. Beberapa menit kemudian, ada tetangga, Tinah, yang mengomentari, “Betul, mbak Ufi. Aku sekarang jadi sering banget cuci tangan, sehari bisa sampai 20 kali,” tulisnya, dengan diimbuhi emoticon jempol dan senyum.

Membaca pesan tersebut, tentu membuat saya senang, “Wah, buk. Semoga kebiasaan seperti itu juga dilakukan masyarakat lainnya ya, dan semoga tetap bertahan meskipun kelak pandemi Covid-19 sudah berakhir,” balasku.

Covid-19 Mendekat, Warga Bertindak

Penyebaran virus Corona di Kabupaten Banyumas, terus meningkat sejak beberapa waktu terakhir. Sehingga, status meningkat dari zona oranye, menjadi zona merah. Berdasarkan data pantauan Covid-19 total terkonfirmasi positif berjumlah 630 orang. Sedangkan untuk yang suspek mencapai 3.361 per 3 Desember 2020.

Kini, Covid-19 yang awalanya diyakini masyarakat Desa Rancamaya tidak akan datang ke desa, ternyata semakin dekat. Adanya berita tentang beberapa warga Desa Gunung Lurah yang terindikasi positif Covid-19 tentu mengejutkan masyarakat.

“Kaget, lumayan panik juga awalnya, soalnya desa sebelahya, deket banget, katanya Gang BKR juga di lockdown,” ucapTuji, tetangga saya.

Setelah mendapatkan informasi dari obrolan tetangga tadi, saya langsung menghubungi Bu Ari, rekan kerja ibu saya. Kebetulan juga beliau tinggal di gang yang disebutkanTuji tadi, Gang BKR.Kami saling membalas pesan via whatsapp.

“Memang saat ini gang kami ditutup sementara, tapi tidak total, masih ada akses keluar masuk, dan untuk menghindari ketakutan warga lain, antisipasi juga, kami sadar diri untuk tetap di rumah saja dulu,” jawab Ari.

Berdasarkan informasi yang saya dapat, warga terkonfirmasi positif di Gang BKR berjumlah tiga orang, yang memang satu keluarga. Setelah itu, dilakukan tracking atau pelacakan pada orang yang melakukan kontak langsung dengan mereka, dan mengharuskan 14 orang untuk tes swab dan isolasi mandiri 14 hari.

“Warga yang positif 3 orang, isolasi mandiri mba, sampai hari kelima Alhamdulillah kondisi sehat tidak ada keluhan apa pun, sebentar lagi akan dilakukan swab yang kedua semoga hasilnya negatif,” tambah Ari.

Selalu Ada Hikmah

Ari yang merupakan masih anggota satgas tersebut bercerita kepada saya, bahwa setiap pagi, ada perwakilan ibu-ibu yang mengantarkan logistik ke depan rumahwarga yang sedang isolasi mandiri. Mereka menyebutnya dengan istilah Jogo Tonggo.

“Kebutuhan sehari-hari seperti logistik tentunya harus delivery order. Namun, untuk warga yang terindikasi positif dan sedang menunggu hasil swab, logistik telah dibantu, istilahnya melakukan kegiatan jogo tonggo yang dikoordinasiwarga RW 1, bantuannya berupa logistik, vitamin dan obat-obatan,” ungkapnya lega.

Ia pun kembali mengungkapkan syukur, bahwa sampai saat ini, kondisi seluruh warga gang BKR tetap sehat, tidak ada keluhan sakit yang dirasakan. Selain itu, bantuan juga datang dari berbagai pihak, seperti para perantau, saudara, dan warga sekitar.

“Kemarin ada bantuan dari para perantau, membantu pengadaan logistik, dari saudara masing-masing juga, tetapi ya tidak setiap hari, dan pagi ini semua warga Gang BKR juga dapat kiriman bahan makanan mbak, tidak hanya yang terpapar, Alhamdulillah,” pungkasnya. *** [Lutfiana Rizqi Sabtiningrum]

*Luthfiana Rizqi Sabtiningrum, lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 30 Oktober 1999, dari pasangan Hasanudin dan Sangadah. Anak pertama dari dua bersaudara yang panggilan akrabnya Lutfi atau Ufi ini memiliki hobi menonton film, dan punya ketertarikan dalam dunia tulis menulis atau kejurnalistikan. Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwa dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga ini tercatat sebagai pejuang beasiswa Bidik Misi dan aktif di lembaga pers kampus, sebagai Sekretaris Redaksi LPM Rhetor. Ia juga aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah (Ormada) Banyumas.